Minggu, 28 Februari 2010

Menuju Pulang

Alkisah disuatu tempat ada tokoh agama sedang berceramah pada orang-orang
dan dia berceramah tentang keselamatan lalu surga


Singkat waktu, dari kejauhan ada kakek tua bertanya pada si tokoh agama itu,

"Maaf pak, saya mau bertanya sama bapak. Apakah bapak takut akan kematian?"

Tak diduga si tokoh agama yang sedang berceramah itu terdiam

Tak lama kemudian, si tokoh agama itu menjawab,

"iya kek, sejujurnya saya takut akan kematian"

Setelah si kakek mendapat jawaban dari si tokoh agama itu
Tanpa basa-basi si kakek langsung beranjak untuk pulang meninggalkan acara tersebut

Dalam perjalanan menuju rumah si kakek berkata dalam hatinya,

"Dimana bekal untuk pulang nanti, sebenarnya aku harus mencari sendiri"



Djatinangor, 2010

Ibu Dan Anaknya Dijalan

Pok ame, ame
Belalang kupu-kupu
Siang makan nasi
Sebelum tidur minum susu


Bohong ah !



Djatinangor

Dhe We

Kau tahu, siapa yang membangunkan aku disaat seperempat malam tiba?
Karena itu aku sayang dan terbangun
Kubuka mata, teringat aku tak ingin menikmati sunyi sendiri
: Dhe We

Apa kau ingin tahu Dhe, kenapa kupingku melambangkan sujud ketika adzan tiba?
Karena itu aku rindu dan aku sujud
Antara salam kanan ke kiri, aku tak ingin sendiri

Semua kulakukan karena hatiku merasa cemburu
Mungkin kau tak tahu, namun aku tak bisu

Dhe We
iTak kunjung kutemukan, diantara seperempat malam dan adzan
Yang ada hanya makna diam yang gantung diri
Tak kupahami



Djatinangor, 2010

14 Februari

: Diah Wulansari



14 Februari
Ketika sunyi aku ingat dalam kitab suci ad-dhuha ayat empat
Lalu, kulabuhkan doa untukmu dalam lukisan
Amin





Madjalengka, 2010

Jelita Mars

Kasih sayang, keindahan dan kesunyian
: Jelita mars
Malam tiba, kutemukan kau dalam keindahan
Memandang penuh kasih sayang
Dan, membisu melambangkan kesunyian


Kapan kau tiba, aku tak tahu
Kapan kau menghilang, aku juga tak tahu
Sekarang bintang sudah tak seperti bintang
Karena orang-orang telah terbiasa melihat bintang


Kapan kau jatuh, akh, aku kembali tak tahu
Karena hanya bintang-bintanglah yang mampu jatuh
Sampai kapan kau menggantung dan diam seperti ini
Apa karena kau terlalu sombong dengan warna emasmu itu
Akh, tidak mungkin
Mungkin Tuhan hanya mentakdirkan kau untuk dilihat saja


Tiba- tiba jelita mars berkata,
“Yah, kau ini menghayal saja, tidur sana sudah malam !”
“Iya aku akan tidur, selamat malam Jelita, semoga kita bertemu lagi”, jawabku
“Daaah”, balas jelita mars
Beranjak untuk tidur aku berkata dalam hati,
“Ternyata dia lah yang ingin mengakhiri semua ini, aku terima jelita”





Djatinangor, 2010

Selamanya Untukmu

Jika suatu saat kau melihat aku mati
Maka, kau akan melihat aku mati berdiri


Djatinangor, 2010

Menjadikan Topeng

Tali suara lelaki itu merayu dayu

Biar si perempuan berpayudara itu yakin bahwa dia menyenangkan

Hingga mampu memberi bulan dan bintang di siang hari

Dan dia seraya berkata, "aku sayang kamu"

Perempuan itu menarik semua yang mengalir dirongganya

"Iya aku terima",

Waktu berjalan pada jalannya

Hari berlalu tanpa kembali

"Sayang perutku masuk angin" , cetus si perempuan

"Apa... tidak-tidak, aku belum siap",

"Sayang, apa kau cinta sama aku?",

"Iya aku cinta sama kamu tapi nggak seperti ini, aku belum siap",

"oke, tinggalkan saja aku sekarang yank, jadi selama ini kau bertopeng"

Perempuan itu mendengus, lalu meninggalkannya

Si lelaki itu pun diam dan berkata, "maafkan aku"



Djatinangor, 2010

Cerita Si Kursi

Dari kelihaianmu, berbagai sudut aku terbentuk, wahai seniman rakyat
Ladang jari-jarimu menjadikan aku berdiri
Ukuran kaki-kakiku kokoh olehmu
Sandaran menjadi pelengkap wujudku
Bahkan kau menambahkan corak mengundang godaan
Menjadikan mereka terbuai
Lalu, aku menompang berbagai etnis sesukanya
Dan berlomba ingin mengenalku
Sebebasnya

Kini, aku menjadi refleksi budaya uang
Seakan aku mengarahkan dalam bertahan hidup
Dan mampu merangkai kehormatan
Menggebu bantai tak kesenonohan
Tak peduli arti kenyamanan, yang ada hanya roh pelacur
Yang penting mendapatkan, dengan berbagai rayuan
Tentunya merayu, siapa yang harus di rayu

Tahu kah kau, wahai seniman rakyat
Kaki-kakiku kini tak kokoh lagi
Karena terbebani oleh jasmani-jasmani uang
Subur tubuhku

Itu sebenarnya tujuan mereka menikmati tubuhku tanpa dosa
Sekarang aku menanti rayap-rayap untuk menguburku
Biarkan saja agar mereka mengerti
Aku hanya kursi perwakilan

:Dalam Situseni.com

Jatinangor, 2010

Tanahku

Tanahmu merah dari pegunungan
Tanahmu putih dari hamparan samudra
: Merah Putih


Hingga saat ini Ronggaku Masih ada yang mengalir
Dan tak mampu lagi membedakan
Mana darah
Mana air mata


Bambu runcing telah tumbuh ruah
Hingga aku sulit membuka topeng-topeng pencuri tambang

Keris-keris telah telanjang erotis dalam sejarah ruang
Yang ada hanya riwayat yang tertinggal
Dalam goresan pusaka
Katanya mampu dibaca


Tanahku mengalir dalam satu cerita leluhur
Diantara perjuangan yang berdiri
Mampukah mengalir hingga saat ini
Entahlah tanahku tetap tanahku
Yang memerah
Dan memutih



Djatinangor, 2010